Pentingnya Literasi Keuangan di Era Digital

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, masyarakat kini semakin dimudahkan dalam mengakses layanan keuangan. Transaksi bisa dilakukan hanya dengan beberapa ketukan jari, investasi dapat dimulai tanpa harus datang ke kantor cabang, dan pinjaman bisa diajukan dalam hitungan menit. Namun, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan baru: meningkatnya risiko penyalahgunaan layanan keuangan akibat rendahnya literasi keuangan masyarakat.
Apa Itu Literasi Keuangan?
Literasi keuangan adalah kemampuan untuk memahami dan mengelola keuangan pribadi secara bijak. Ini mencakup pemahaman tentang penganggaran, menabung, berinvestasi, mengelola utang, hingga memahami risiko dan manfaat produk keuangan yang tersedia.
Sayangnya, berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, meski mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat sebagian masyarakat rentan terhadap penipuan, investasi bodong, dan perilaku konsumtif yang tidak sehat.
Risiko Rendahnya Literasi Keuangan
Beberapa risiko utama akibat rendahnya pemahaman keuangan antara lain:
-
Terjebak utang konsumtif: Banyak orang menggunakan fasilitas pinjaman online (pinjol) tanpa memahami bunga, denda keterlambatan, dan risiko gagal bayar.
-
Investasi bodong: Banyak masyarakat tergiur iming-iming “cuan cepat” tanpa memverifikasi legalitas penyedia layanan.
-
Tidak siap menghadapi krisis: Minimnya tabungan atau dana darurat membuat banyak keluarga rentan secara finansial saat terjadi krisis (PHK, sakit, atau bencana).
Solusi: Edukasi dan Digitalisasi yang Sehat
Solusi dari tantangan ini bukan hanya menutup akses, tetapi memberikan edukasi yang masif dan konsisten. Lembaga pemerintah, sekolah, perguruan tinggi, pelaku industri keuangan, hingga keluarga memiliki peran penting dalam membangun budaya melek finansial.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
-
Edukasi keuangan sejak dini: Memasukkan materi pengelolaan uang dalam kurikulum sekolah.
-
Peningkatan transparansi layanan digital: Aplikasi keuangan harus menyertakan simulasi bunga, biaya tersembunyi, dan risiko dengan jelas.
-
Kampanye nasional anti-investasi bodong: Mengedukasi masyarakat agar “cepat cuan” tidak berakhir jadi “cepat hilang”.
Penutup
Di era digital yang serba cepat, literasi keuangan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat keuangan pribadi, bukan justru terjerumus dalam krisis akibat kurangnya informasi.