Pak Jokowi... Harusnya Pajak Naik untuk Si Kaya, Jangan Si Miskin

May 12, 2021 | Zenal Muttaqin

Jakarta - Ada rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan jika ada kebutuhan pendanaan negara untuk penanganan COVID-19 yang membutuhkan biaya.

Menanggapi hal tersebut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengungkapkan rencana kenaikan PPN menunjukkan pemerintah atau keuangan negara dalam masalah.

"Pemerintah panik, lalu mencoba untuk menaikkan PPN tapi di lain pihak ya mau memberikan insentif. Insentifnya itu yang diberikan ke masyarakat yang berpenghasilan tinggi seperti PPnBM itu," ujar dia saat dihubungi detikcom, Selasa (11/5/2021).

Dia mengungkapkan rencana kenaikan PPN akan mempengaruhi konsumsi masyarakat khususnya yang menengah ke bawah. Hal ini karena persentase masyarakat menengah ke bawah jauh lebih banyak dibandingkan orang kaya.

Kemudian jika naik maka akan ada pengaruhnya terhadap perekonomian, hal ini akan menyebabkan konsumsi menjadi turun. Selanjutnya akan ada tekanan pada masyarakat lapisan bawah karena juga menanggung beban kenaikan pajak.

Peneliti Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengungkapkan dalam konteks pandemi saat ini memang ada tekanan penerimaan pajak yang dialami oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.

"Di satu sisi penerimaan cenderung melemah sedangkan belanja stimulus kian meningkat. Ada upaya untuk mengelola risiko anggaran dalam jangka menengah membutuhkan strategi konsolidasi fiskal yang salah satunya berorientasi bagi optimalisasi penerimaan pajak," jelas dia.

Menurut Bawono, tak heran jika survei OECD per April lalu telah menunjukkan adanya pergeseran orientasi kebijakan pajak di banyak negara.

Yang awalnya untuk meningkatkan daya tahan masyarakat terdampak, tapi lambat laun juga turut berorientasi untuk meningkatkan penerimaan. Khususnya dari pos PPN. Sebagai contoh, beberapa negara meningkatkan tarif PPN seperti Arab Saudi atau Nigeria.

Dia menyebut, belajar dari krisis 2008, memperlihatkan jika PPN adalah jenis pajak yang relatif stabil dan paling cepat pulih dibanding jenis pajak lainnya, bahkan di saat krisis.

"Tidak hanya itu, PPN juga merupakan pajak yang relatif memberikan distorsi lebih sedikit terhadap proses pemulihan ekonomi. Jadi optimalisasi penerimaan pajak melalui reformasi kebijakan PPN adalah sesuatu yang rasional," ujar dia.

Bawono menjelaskan jika isunya terkait keadilan, maka pilihan kenaikan tarif juga bisa dikombinasikan dengan skenario multitarif. Skenario ini terdiri dari tarif standar yang berlaku umum serta tarif yang berlaku khusus untuk barang atau jasa kena pajak tertentu.

"Nah untuk tarif khusus tersebut bisa berbentuk reduced rate atau tarif lebih rendah bagi barang atau jasa yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah," jelas dia.

Dia menambahkan, saat ini mayoritas negara di dunia juga menggunakan skenario multitarif PPN demi menjamin keadilan tersebut.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengungkapkan kebutuhan keuangan negara khususnya untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, UMKM dan insentif mengalami perubahan.

"Kenapa kok ada diskusi terkait PPN yang sempat didiskusikan oleh teman-teman wartawan beberapa hari terakhir kemarin, bahwa waktu ke waktu kebutuhan akan uang negara yang dikhususkan untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, UMKM, insentif itu mengalami perubahan," kata dia kemarin.

Sumber:DetikFinance

Hubungi Kami

Pesan alert di sini