Dinamika Kebijakan Fiskal Indonesia (2010-2025): Sebuah Analisis Narasi Opini di Bawah Kepemimpinan Sri Mulyani dan Para Pendahulu

September 09, 2025 | Y. Antika Ningsih

Oleh: Y. Antika Ningsih, CTA, CMM, CITA, CMFC, CTPA1, RFA, ChFM. 

Sepanjang 15 tahun terakhir, perpolitikan ekonomi Indonesia telah menyaksikan serangkaian perubahan kepemimpinan di Kementerian Keuangan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa peran Ibu Sri Mulyani Indrawati menonjol, baik saat menjabat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun kini di bawah Presiden Joko Widodo. Mengamati jejaknya dan membandingkannya dengan para menteri sebelumnya, terlihat adanya benang merah dan perbedaan signifikan dalam pendekatan kebijakan.

Menteri-menteri yang mendahului Sri Mulyani, seperti Agus Martowardojo dan Bambang Brodjonegoro, menghadapi tantangan ekonomi yang beragam. Agus Martowardojo, misalnya, dihadapkan pada perlambatan ekonomi global dan tantangan fiskal domestik. Kebijakannya cenderung fokus pada menjaga stabilitas makroekonomi dan memperkuat sektor perbankan. Sementara itu, Bambang Brodjonegoro berfokus pada reformasi birokrasi dan pengelolaan anggaran negara yang lebih efisien, sering kali mencoba mencari terobosan dalam penerimaan pajak.

Meski demikian, ketika Sri Mulyani kembali menjabat, ia membawa pendekatan yang lebih tegas dan transformatif. Salah satu ciri khasnya adalah penekanan kuat pada disiplin fiskal. Ia berulang kali menegaskan pentingnya menjaga defisit anggaran tetap terkendali dan tidak melewati batas yang diizinkan undang-undang. Kebijakan ini terasa berbeda dari beberapa pendahulunya yang terkadang lebih fleksibel dalam menghadapi tekanan politik untuk meningkatkan belanja.


Perbedaan Pendekatan dan Prioritas

Salah satu perbedaan paling mencolok adalah dalam strategi perpajakan. Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, Ditjen Pajak didorong untuk lebih agresif dalam mengejar penerimaan, salah satunya melalui program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang monumental. Program ini tidak hanya berhasil meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi juga bertujuan untuk memperluas basis data wajib pajak. Ini merupakan langkah berani yang jarang terlihat pada masa menteri sebelumnya.

Selain itu, Sri Mulyani juga menunjukkan kemampuan diplomasi dan komunikasi publik yang luar biasa. Ia sering kali tampil di hadapan publik untuk menjelaskan secara detail kondisi ekonomi dan alasan di balik kebijakan yang diambil. Hal ini membangun kepercayaan, baik di kalangan investor domestik maupun internasional, dan membedakannya dari pendekatan yang cenderung lebih tertutup dari beberapa menteri sebelumnya.

Namun, kritik juga tidak bisa dihindari. Beberapa pihak menilai kebijakan Sri Mulyani terlalu "ortodoks" dan kurang berani dalam mengambil risiko untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Prioritas pada stabilitas fiskal terkadang dianggap menghambat proyek-proyek pembangunan besar yang membutuhkan suntikan dana signifikan. Kontras dengan Bambang Brodjonegoro yang mungkin lebih fleksibel dalam mengakomodasi kebutuhan pembangunan infrastruktur besar.

Dalam era 15 tahun terakhir, Sri Mulyani Indrawati muncul sebagai arsitek utama reformasi birokrasi dan fiskal yang fundamental, sementara para menteri keuangan di antaranya, yaitu Agus Martowardojo, Muhamad Chatib Basri, dan Bambang Brodjonegoro, berperan sebagai manajer krisis dan transisi yang efektif. Kebijakan mereka menunjukkan sebuah ekosistem fiskal yang dinamis dan adaptif, di mana pondasi yang dibangun di satu era menjadi modal berharga untuk menghadapi tantangan di era berikutnya. Diperiode 15 tahun ini adalah kisah tentang bagaimana kebijakan fiskal yang berani, kadang tidak populer, dan didukung oleh reformasi kelembagaan, telah menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah berbagai badai global. Meskipun tantangan terkait utang dan penerimaan pajak tetap ada, fondasi yang telah dibangun telah mempersiapkan Indonesia untuk tantangan di masa depan. Kenaikan utang pemerintah bukanlah tanda kegagalan, melainkan harga yang dibayar untuk mencegah krisis yang lebih dalam, dan terkelola dengan baik di bawah batasan yang sehat

Melihat ke depan, tantangan utama bagi bendahara negara adalah menjaga keberlanjutan reformasi, meningkatkan rasio pajak, dan mengelola beban utang di era ketidakpastian global yang berkelanjutan. Transformasi digital dan adaptasi terhadap ekonomi hijau akan menjadi agenda utama, menuntut inovasi kebijakan yang berkelanjutan untuk memastikan Indonesia tetap berada di jalur pertumbuhan yang stabil dan inklusif. 

Hubungi Kami

Pesan alert di sini