Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Disorot Media Asing, Apa Sebabnya?

Pada perdagangan kemarin, Selasa (8/4/2025), rupiah ditutup melemah 69,5 poin atau 0,41% ke posisi Rp16.891 per dolar AS. Bahkan di Bank Central Asia (BCA) pada perdangn siang, nilai jual dolar AS telah menembus Rp17.000.
Sementara itu, dalam pembukaan perdagangan hari ini. Mengutip
Media ternama Timur Tengah
Dalam laporannya, Al Jazeera menyoroti bahwa pelemahan rupiah telah terjadi beberapa minggu sebelum hantaman kebijakan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump terjadi.
“Sejak pelantikan Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada Oktober [2024], nilai tukar rupiah telah merosot sekitar 8% terhadap dolar di tengah kekhawatiran mengenai kepemimpinannya di negara dengan ekonomi terbesar dan penduduk terbanyak di Asia Tenggara,” tulis laporan itu, Rabu (9/4/2025).
Baca Juga
Kondisi ini dibandingkan dengan tren serupa pada 1998 silam. Saat itu, krisis keuangan menjadi salah satu pemicu berakhirnya tiga dekade pemerintahan otoriter Presiden Soeharto.
Pelemahan rupiah juga dinilai mencerminkan tingkat keyakinan investor dan pasar global terhadap kebijakan ekonomi yang berlaku di Tanah Air saat ini.
Sejumlah ekonom dan pakar bercerita kepada Al Jazeera bahwa beragam kebijakan Prabowo seperti makan siang gratis, rencana untuk mengurangi independensi bank sentral, serta pembatasan terhadap perusahaan asing seperti Apple telah mengguncang kepercayaan investor.
"Ini semua tentang ketidakpastian yang meningka" dan penurunan signifikan dalam kepercayaan pasar", kata Arianto Patunru selakui ekonom dan peneliti di Australian National University (ANU) Indonesia Project.
Selain itu, pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara hingga dorongan agar TNI menduduki lebih banyak jabatan sipil juga dinilai telah memicu kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi. Kondisi ini terjadi di tengah penurunan daya beli dan keterbatasan simpanan kelas menengah.
Profesor emeritus Ekonomi Asia Tenggara di ANU, Hal Hill menyebut bahwa kondisi sulit perekonomian sejak krisis 1997-1998 ini terjadi karena dua faktor, yakni domestik dan internasional.
"Faktor domestik adalah presiden baru. Kalangan bisnis masih berusaha mencari tahu bagaimana langkahnya dan strateginya mengelola situasi fiskal, dan itu dikombinasikan dengan faktor eksternal," jelasnya.
Sumber : Bisnis.com